28/08/18
Part II
Sayup-sayup terdengar lolongan serigala
dan bunyi seruan binatang di sekeliling Zea. Zea berusaha membuka mata walau
terasa berat sekali. Zea terjaga dari tidurnya dan mendapati dirinya berada di
antara pohon pinus yang menjulang tinggi. Zea berada di dalam ayunan yang
terbuat dari kain dan terikat di antara dua pohon pinus. Hutan ini lagi,
batinnya! Tapi baru kali ini Zea bisa merasakan jelas pemandangan di sekeliling
hutan tersebut, biasanya hanya berupa kilasan-kilasan binatang menghampirinya
dan mengajaknya bicara dengan latar hutan belantara. Zea menggenggam sebuah
buku di tangannya, seperti kebiasaannya sebelum tidur.
Tiba-tiba seekor serigala datang
menghampiri Zea. “Loh, kamu kan yang kemarin datang ke mimpiku?”, kata Zea
terkejut.
“Hai, Zea!”, kata serigala itu
sambil mengibaskan ekornya.
“Kenapa aku ada di sini lagi?”,
kata Zea sambil mengerutkan alis
“Kami ada karena kamu”, ujar
serigala itu ramah.
“Maksudmu?”, Zea berusaha memahami
perkataan serigala itu
“Ini adalah hutan keinginan, setiap
keinginan akan menjadikan hutan ini ada. Semakin kuat keinginanmu, makan
semakin jelas wujud kami dan semakin kuat keberadaan hutan ini.”
“Oh, aku masih bermimpi ya?”
“Bermain-mainlah dengan kami,
karena tugas kami membuatmu bahagia. Ayo kita turun dari sini!”
Zea melongok ke bawah, sudah ada
rubah, tupai dan beruang menunggunya di bawah. Mereka melambaikan tangannya
kepada Zea. “Tapi aku tidak bisa turun dari sini, aku tidak bisa berjalan.”
“Coba gerakkan kakimu!”, kata
serigala itu.
Zea memperhatikan sepatu boot yang
menempel di kakinya. Zea memejamkan mata dan mengingat-ingat bahwa dia sudah
berkursi roda sejak kecil, jadi Zea tidak tau rasanya menggerakkan kakinya. Zea
mengerahkan tenaganya untuk menggerakkan kaki sambil memejamkan mata.
“Hei, kenapa kau memejamkan mata?
Ayo coba gerakkan kakimu!”
Zea menggoyangkan kedua kakinya dan
merasakan kakinya bergerak. Zea terlonjak dan menatap lekat-lekat kedua kakinya
yang bergoyang mengikuti keinginannya. “Kakiku bisa bergerak!”, sontaknya
kegirangan. Zea berdiri perlahan dan ajaibnya bisa berdiri, bahkan bisa turun
dan melompat dari dahan ke dahan dengan sigap. “Aku bisa melompat! Hei
serigala, benar katamu ini hutan keinginan. Keinginanku untuk bisa berjalan
bisa menjadi nyata di hutan ini.”
Zea berlari menyusuri hutan diikuti
serigala, tupai, rubah dan beruang. Mereka tertawa-tawa sambil berlarian di
hutan, lalu berhenti di tengah danau yang berkilauan. “Wah, indah sekali danau
ini, apakah aku boleh mendekati danau itu?”, tanya Zea pada si rubah.
“Tidak boleh, danau itu berbahaya
karena akan membuatmu meninggalkan hutan ini! Itu adalah danau kenyataan.”
“Oh baiklah, aku ingin kembali saja
ke ayunan tadi. Aku ingin membaca buku lagi.” Mereka pun kembali ke dalam hutan
dan menuju tempat Zea bangun pertama kali. Zea naik ke atas dahan pinus dan
duduk di atas ayunannya
“Bagaimana aku bisa membaca kalau
sekelilingku gelap?”
“Ini adalah hutang keinginan,
setiap keinginanmu akan terwujud.”, kata tupai sambil melompat-lompat.
“Aku ingin lampu diatas tempat
tidurku.” Seketika muncullah lampu di atas ayunan Zea yang menerangi pohon dan
hutan. Zea pun membacakan buku favoritnya kepada tupai, serigala, beruang dan
rubah. Teman-teman binatangnya mendengarkan sambil bersantai di dahan pohon.
Begitulah Zea menjalani
hari-harinya di hutan keinginan, segala keinginannya terwujud tanpa perlu
berusaha. Cukup dengan mengatakannya, maka keinginan tersebut menjadi
kenyataan. Setiap hari dia berlari menyusuri hutan dan bermain bersama
teman-teman binatangnya. Buku-buku yang ingin dibacanya pun sudah selesai semua
dibacanya. Lama-lama Zea merasa bosan di
hutang tersebut. Zea merasa dirinya melupakan sesuatu, tapi dia tidak bisa
mengingatnya.
Esoknya Zea kembali menyusuri hutan
dan tiba di danau kenyataan. Zea memandangi danau itu, ada perasaan rindu di
dalam hatinya, tapi dia tidak tau rindu apa itu. Zea berusaha mengingat-ingat
apa yang terlupa tapi dia tidak bisa.
“Zea, ayo kita kembali ke hutan!”,
panggil si beruang
“Aku…hmm..sepertinya melupakan
sesuatu tapi aku tidak tau apa”
Sayup-sayup terdengar suara dari
dalam danau memanggilnya lembut, “Zea…”
Zea terkejut dan merasa rindu
dengan suara tersebut.
“Kenapa ada suara dari dalam
danau?” Zea menatap danau dan tanpa sadar meneteskan air mata.
“Sudah kubilang, tidak usah
mendekati danau ini. Kau akan meninggalkan hutan ini jika dekat-dekat danau
tersebut!”
“Tapi…”
“Bukankah kau senang berada di
hutan ini? Di sini kau bisa berjalan, melompat, berlari sesuka hati tanpa perlu
berada di kursi roda. Ini hal yang sangat kau inginkan bukan?”
Zea menoleh pada sang beruang.
Beruang memeluk Zea dengan erat, “Kembalilah bersamaku ke hutan, kita bermain
kembali bersama-sama hari ini dan seterusnya.”
Tiba-tiba Zea mencium bau yang
familiar dari sang beruang. Bau apa ini? Seperti campuran bau madu dan mint.
Zea mencoba mengingat-ingat dimana dia mencium bau itu sebelumnya. Sentuhan
lembut beruang di rambutnya mengingatkan pada tangan lembut yang membelainya,
tapi apa dan siapa.
Bersambung ke Part III
Hutan Keinginan Part I
Part I
“Buuuu, aku bermimpi lagi!”, ujar
Zea sambil menghampiri ibunya.
“Mimpi apa, sayang?”, kata ibu yang
sedang memasukkan barang ke dalam tas.
“Mimpi bertemu dengan pasukan
hutan!”, kata Zea dengan lantang.
“Oh, pasukan hutan yang sering kamu
ceritakan itu, ya?”, kata ibu sambil tersenyum.
“Iya bu, kali ini mereka tidak
hanya mendekatiku, mereka bicara denganku! Benar-benar bicara denganku! Bu, aku
bisa bicara dengan mereka!!!” Mata Zea membulat, terlihat binar-binar jenaka
dalam matanya.
“Wah, kamu bisa bicara dengan
teman-temanmu dalam mimpi. Hebat ya, ibu saja seringnya lupa dengan apa yang ibu
mimpikan semalam.” Ibu menyentuh ujung hidung Zea dengan lembut.
“Tentu saja, dibalik kekurangan
seseorang pasti ada kelebihannya, seperti yang sering ibu bilang kan!” Zea
mengepalkan kedua tangannya dengan semangat.
“Zea sayang, Ibu senang sekali
kalau Zea selalu ingat apa yang Ibu katakan. Tapi Ibu akan lebih senang
lagi jika kita siap-siap sekarang supaya tidak terjebak macet dan terlambat
bertemu dokter.” Ibu tampak sudah selesai merapikan tas dan menutup
resletingnya dengan cepat.
“Ah, aku bosan terapi terus,
dokternya baik sih tapi tetap saja capek mengikuti instruksinya terus.” Zea
memalingkan muka tanda tidak setuju.
“Iya, Ibu paham kamu pasti capek
dan bosan, Ibu juga pengen libur sehariiiii saja. Tapi Zea ingat kan dokter
berpesan apa?”, Ibu mencubit gemas pipi Zea.
“Ya ya ya, dokter bilang, sekali
aku malas dan melewatkan terapinya, maka aku harus mengulang dari awal kembali
dan rasa malas akan menguasaiku terus menerus.” Zea memutar bola matanya sambil
mengibaskan tangannya.
“Sungguh anak ibu yang paling hebat
ingatannya. Yuk, kita siap-siap sekarang!” Ibu mendorong kursi roda Zea menuju
kamar untuk berganti baju dengan yang lebih hangat.
----
“Ibu, saya harap ibu dan keluarga
bersiap-siap untuk operasi lanjutan minggu depan setelah sesi terapi ini
selesai.”, ujar Dokter dengan tenang.
“Bagaimana hasil terapi kali ini,
dok? Apakah otot-ototnya mulai ada perkembangan?” Raut muka sang ibu khawatir mendengar
perkataan dokter.
“Memang ada perkembangan, namun
saya tidak ingin menutupi bahwa seperti yang ibu lihat, semakin lama kakinya
mengalami perubahan bentuk dan mengecil. Walaupun kita melakukan sesi terapi
supaya otot kakinya tidak semakin melemah, tindakan operasi tetap perlu dilakukan
supaya rangkanya tidak semakin bengkok dan mengalami dislokasi.”, terang sang
dokter.
“Baik, dok. Saya akan bicarakan
dengan ayahnya dan mempersiapkan Zea untuk menjaga kesehatannya menjelang
operasi. Semoga operasi kali ini bisa memberikan hasil yang baik!”
---
*2 minggu kemudian*
“Zea, ibu ada di sini selama kamu
menjalani operasi. Ibu tau pasti kamu khawatir, tapi Ibu selalu menemani di
sisimu, sayang.” Ibu tersenyum, raut mukanya menampakkan kegelisahan namun dia
berusaha menyembunyikannya dari anaknya.
“Zea takut, Bu! Zea takut tidak
bisa bertemu ibu dan ayah lagi. Zea takut selamanya tidak bisa berjalan lagi.”
Zea meneteskan air matanya. Bajunya sudah berganti dengan baju pasien ruang
operasi berwarna hijau.
“Kalau Zea takut, itu wajar nak.
Dulu Ibu juga takut saat dibawa ke ruang operasi dengan janin di perut ibu. Ibu
takut sama sepertimu, namun setelah operasi selesai, Ibu malah bersyukur
karena ada kau dalam dekapan ibu sayang.” Ibu berujar lembut sambil memeluk
Zea.
“Zea sayang, Ayah juga di sini
menjagamu. Setelah operasi selesai, bagaimana kalau kita nge-date sambil makan es krim kesukaanmu? Tidak usah mengajak ibu ya”, kata ayah sambil mengedipkan
sebelah matanya dengan jenaka.
Zea tersenyum dan berusaha
menghalau kekhawatirannya, dia tau bahwa terapi dan operasi yang dijalaninya
ini harus tetap dilakukan supaya kakinya bisa mengalami kemajuan. Kemudian dokter dan suster datang menghampiri
sambil tersenyum, “Wah, anak hebat sudah siap rupanya. Karena sudah puasa sejak
semalam, bagaimana kalau kita masuk ruang otak-atik sekarang? Supaya setelah
ini bisa makan es krim yang enak bersama ayah dan ibu?” Dokter menyebut istilah
ruang otak atik kepada Zea dengan maksud tidak membuat Zea takut.
Ayah dan Ibu mencium kening Zea dan
memeluk Zea sangat erat. Kemudian Zea tidur di tempat tidur beroda dan dibawa ke
ruang operasi. Rasa panas mulai mengaliri tangannya, Zea sudah hafal rasa ini,
setelah ini dia akan merasa kebas dan melayang lalu tertidur lelap.
Bersambung ke Part II
(638
words)
Langganan:
Postingan (Atom)