31/05/16
(Lanjutan)
2. DKS =
Mengajukan pertanyaan untuk merubah tingkah laku
Buatlah prioritas dan batasan tingkah laku positif yang
diharapkan. Berikut alasan mengapa prioritas dan batasan penting:
o
Kalau tidak ada prioritas, orang tua dan anak
sama-sama lelah
o
Batasan adalah harapan khusus yang dibuat orang
tua untuk anaknya untuk perilaku tertentu
o
Dengan batasan yang masuk akal menunjukkan orang
tua cinta dan perduli
o
Melalui batasan, orang tua mengajarkan nilai
nilai yangi dianut orang tua dan apa yang mereka ingin dipelajari anaknya
o
Anak perlu pahlawan/tokoh yang membuat perturan
tentang sesuatu yang penting
Makna batasan untuk anak:
-
Batasan seperti terali
-
Batasan membuat anak merasa terlindungi
-
Batasan membantu anak untuk membedakan bahaya
dan aman
-
Batasan membuat anak bebas eskplorasi tanpa membahayakan
dirinya atau orang lain
-
Tahap batasan anak merasa tidak aman dan
ketakutan sehingga menarik diri atau malah nakal
-
Kebanyakan batasan akan menekan anak
-
Kesedikitan akan terlalu berani dan kurang
pertimbangan akan resiko
Dasar merumuskan aturan yaitu katakan pada anak mengapa
aturan perlu, misal:
“Ayah dan ibu sayang dan perduli sama
kamu”
“Kami ingin kau terlindungi dan aman”
“Kami menginginkan budi bahasamu baik”
“Kami ingin kamu mandiri dan bertanggung
jawab”
“Kami ingin kamu tahu bagaimana belajar
hidup bersama orang lain menyenangkan”
Kunci membuat
aturan:
o
Aturan yaitu seperangkat harapan terhadap anak
berupa paduan dan batasan
o
Didasari oleh kepedulian cinta dan kesepakatan
o
Prioritaskan yang penting dulu
o
Batasan harus jelas alasannya
o
Masuk akal
o
Libatkan anak kecuali hal yang mutlak tidak
perlu melibatkan anak misalnya makan menggunakan tangan kanan, sholat, puasa.
o
Jelas dan positif
o
Konsisten
o
Konsekuensi (konsekuensi ilmiah: konsekuensi
yang terjadi secara alamiah misalnya jika tidak makan, anak akan lapar dan
konsekuensi logis: konsekuensi yang diterapkan yang berhubungan dengan perilaku
anak)
Penerapan aturan:
§
Dasarnya adalah kesepakatan dan konsekuensi
§
Saling respek
§
Jelaskan aturan dan pastikan anak mengerti
§
Pastikan aturan sangat perlu
§
Fahamkan bahwa konsekuensi perlu (konsekuensi
logis dan konsekuensi ilmiah)
§
Terapkan
§
Evaluasi
3.
DKS =
Ajarkan keterampilan untuk tidak mengulangi tingkah laku negatif
Pentingnya mengajarkan keterampilan mengatasi emosi/ kendali
diri dan keterampilan sosial:
§
Komponen mengajarkan sering diabaikan dalam
pendisiplinan anak
§
Orang dewasa harus membantu anak dan remaja
mengembangkan kemampuan yang mereka perlukan untuk mencegah mereka mengurangi
tingkah laku negatif
§
Anak harus diajari:
a.
Tidak bereaksi atas dasar emosi
b.
Memikirkan konsekuensi
c.
Bagaimana membantu diri melakukan apa yang
mereka tidak suka
Tujuan mengajarkan keterampilan untuk mengatasi emosi:
o
Untuk tetap di jalur yang benar dan hidup sehat
secara produktif
o
Untuk menenangkan diri saat mereka sangat
marah/sedih
o
Untuk menggunakan kata-kata bukan aksi
o
Untuk menaati aturan yang tidak mereka
seujui/tidak mereka suka
o
Untuk memperhatikan perasaan orang lain
o
Untuk tetap fokus
o
Untuk berhenti saat mereka merasa tidak ingin
berhenti
o
Untuk membuat mereka mau mengerjakan sesuatu,
bahkan ketika mereka tidak ingin bekerja
o
Untuk menangani frustasi/kecewa
o
Untuk menangani kesuksesan
o
Untuk memperhatikan ruang orang lain
Tujuan mengajarkan keterampilan kendali diri/sosial:
§
Untuk merespon orang yang berwenang
§
Untuk bekerjasama dengan orang lain
§
Untuk mengambil gilirannya
§
Untuk bersikap sopan dan penuh hormat
§
Untuk tetap hormat bahkan ketika orang lain
bersikap kasar
§
Untuk berkata tidak” kepada teman sebaya
§
Untuk meminta bantuan saat mereka membutuhkannya
Cara-cara mengajarkan keterampilan mengatasi emosi/kendali
diri dan keterampilan sosial:
o
Bertanyalah terlebih dahulu
o
Anak belajar melalui permainan (Role Play)
o
Berikan contoh yang baik
o
Memberikan pengertian tentang cara kerja otak
EPA
o
Mengkaji ulang tingkah laku yang dapat diterima
bersama anak
o
Temukan keterampilan yang hilang
o
Bagaimana mengajarkan keterampilan tersebut
4.
DKS =
Gunakan kalimat singkat dan aturan 2 kalimat
Dua cara mengatasi situasi frustasi dan marah sendiri
§
Menggunakan kalimat-kalimat singkat
berulang-ulang, daripada ceramah panjang
§
Berpegang pada “aturan 2 kalimat”. Berhenti
bicara setelah mengatakan 2 kalimat. Semakin panjang semakin diabaikan (Sandra
Halperin Ph.D)
Alasan mengulangi kalimat-kalimat singkat:
o
Lebih baik mengunakan kalimat pendek untuk
menyuruh anak melakukan sesuatu yang benar daripada melarang mereka berhenti
melakukan yang salah.
o
Lebih efektif untuk mengatakan “makan yang
sehat” atau “ingat langsing” daripada “jangan makan coklat”.
o
Pesan rutin “jangan” mudah diabaikan
o
Pesan “lakukan” akan membuat mereka melakukan
daripada yang tidak boleh dilakukan
o
Segera setelah mendengar pesan positif
berkali-kali, mereka akan mengulang bagi dirinya sendiri. Tidak membutuhkan
dorongan dari luar dan tidak membutuhkan banyak tenaga dari orang tua.
o
Kalimat pendek yang direktif, positif, fokus
pada tingkah laku khusus yang perlu dipelajari anak
o
Kalimat tersebut hanya terdiri dari 2-3 kata,
bisa satu kata, sebaiknya mengingatkan anak untuk mengendalikan diri.
5.
Fokus
pada hal positif
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
-
Anak-anak peka terhadap harapan orang dewasa
-
Seringlah memuji
-
Pujilah perbuatannya dan bukan orangnya
Contoh: “Perlu kamu tahu, apa yang ayah /mama sukai dari kamu
adalah:
o Kamu itu tekun dalam mengerjakan sesuatu sampai
kamu bisa menyelesaikannya
o
Kamu selalu bisa membuat mama ketawa
o
Kamu itu peka banget sama perasaan banyak orang
o
Kamu bisa ya melukis apa saja yang kamu mau”
-
Pujian sederhana juga berhasil
-
Bantu mereka melihat masa depan
-
Menggambarkan masa depan dengan istilah yang
emosional
Contoh: “Dan ayah/mama dapat melihatmu suatu hari nanti:
o
Kamu menemukan sesuatu yang orang lain pikir
tidak bisa dilakukan karena kamu tidak akan menyerah sampai kamu berhasil
o
Kamu menggunakan leluconmu untuk membantu orang
yang lagi susah hidupnya.
o
Kamu jadi anggota dewan atau pemipin masyarakat
yang selalu mencoba membantu orang y ang kurang beruntung daripada kamu.
o Menciptakan karya seni terindah atau mendesain
mobil yang terbaru dan kaya raya.”
Jadikan
bahagia adalah salah satu tujuan dalam mengasuh anak-anak supaya mereka menjadi
pribadi yang bahagia. Disiplin adalah tentang meninggalkan kenangan kepada
anak-anak kita, seperti apakah kita ingin dikenang anak-anak kita? Selamat
berjuang!
#ODOPfor99Days
#Days32
29/05/16
Seminar Parenting: Disiplin dengan Kasih Sayang oleh Elly Risman (Part III)
Setelah
sebelumnya membahas tentang pengertian disiplin, part ini akan membahas tentang
pendekatan disiplin kasih sayang.
DKS digunakan orang tua dalam
mengambil keputusan bagaimana:
- Mencegah atau berespon terhadap kenakalan anak
atau tingkah lakunya yang tidak patut.
- Mempertimbangkan perasaan di balik perilaku
yaitu membantu anak sadar diri dan menggunakan pikirannya, baru mengambil
tindakan yang menguatkan harga diri dan tanggung jawab anak.
- Menekankan pada proses belajar, sehingga mencapai
makna sebenarnya dari kata disiplin.
Keunikan pendekatan Disiplin dengan
Kasih Sayang (DKS):
1.
DKS = Pikirkan perasaan anak
2.
DKS = Mengajukan pertanyaan untuk merubah
tingkah laku
3.
DKS = Ajarkan keterampilan untuk tidak
mengulangi tingkah laku negatif
4.
DKS = Gunakan kalimat-kalimat singkat dan aturan
2 kalimat.
5.
DKS = Fokus pada hal yang positif
Manfaat menggunakan 5 pendekatan
DKS:
-
Memahami cara berfikir anak untuk bisa
mendisiplinkannya
- Beralih dari model hukuman yang menyakitkan ke
model pendisiplinan yang efektif dan tidak merusak harga serta kepercayaan diri
anak
-
Memahami mengapa anak menjadi “nakal kronis” dan
menghindarinya
1.
DKS =
Pikirkan perasaan anak
Anggapan yang keliru tentang tingkah laku anak yaitu:
-
Kita berfikir bahwa segala tingkah laku
berkaitan dengan pemikiran
- Kita percaya jika semua orang selalu memikirkan
apa yang mereka lalukan SEBELUM, SELAMA dan SETELAH mereka melakukan sesuatu.
- Pada kenyataannya, sebagian besar tingkah laku anak
didorong oleh perasaan/emosi daripada hasil pemikiran. Lalu apakah pantas
anak-anak harus dihukum karena kesalahan mereka?
Bila cara orang dewasa bertindak yaitu E – P – A (Emosi –
Pikiran – Aksi), sedangkan cara anak-anak bertingkah laku yaitu E – A – P (Emosi
- Aksi – Pikiran). Hal tersebut terjadi karena pada anak-anak sebelum berumur 7
tahun, simpul saraf otak belum bersambungan secara utuh. Jadi, anak belum
memiliki keterampilan untuk bertindak berdasarkan hasil pemikiran, dia hanya
bertindak berdasarkan perasaan. Hal ini disebabkan bagian otak yang berkembang
terlebih dahulu pada anak adalah pusat perasaan atau sistem limbik bukan topi
berpikir atau korteks.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah gambar bagian-bagian
otak:
1.
Korteks (Topi berpikir)
2.
Sistem Limbik (Pusat Perasaan)
3.
Brain Stem
(Batang Otak)
Ketika anak bertingkah laku tidak sesuai, tanyakanlah dulu
perasaan/emosi yang mendorong perbuatan tersebut, jangan langsung dimarahai
atau dibentak. Anak yang terbiasa hidup dalam pola asuh bentakan akan
mengaktifkan batang otak atau brain stem
atau dikenal dengan otak reptil sehingga menjadikan mereka bertindak melawan atau
melarikan diri (Fight or Flight)
selayaknya reptil. Jika bagian otak yang aktif hanya bagian batang otak saja,
maka hanya bagian itu saja yang berkembang dan kecerdasan anak menjadi tidak
berkembang. Inilah kenapa anak di bawah usia 7 tahun tidak boleh terlalu sering
dibentak.
Allah telah menciptakan seorang anak yang cerdas sejak lahir,
namun akibat orangtua yang salah perlakuan dalam pengasuhannya menjadikan
kecerdasan anak tersebut menurun. Jika orang tua tidak bisa mengenalkan emosi
dan perasaan kepada anak, akibatnya anak akan tumbuh tanpa bisa mengenali
perasaannya dan tidak memperdulikan perasaan orang lain karena selama ini
perasaannya tidak pernah diperdulikan.
Inilah mengapa calistung dan hal-hal yang berkaitan dengan
pembelajaran kognitif belum dikatakan efektif diajarkan pada anak dibawah usia
7 tahun karena selain otaknya belum penuh bersambungan, bagian otak yang duluan
matang adalah pusat perasaan. Jadi, sebaiknya pada usia 0-7 tahun
banyak-banyaklah memperhatikan aspek perasaan anak. Hal ini kadang tidak
diketahui oleh banyak orangtua karena minimnya pengetahuan mereka tentang
struktur dan kinerja otak.
Ketika anak berusia 7 tahun sambungan-sambungan dalam otak
akan mulai bersambungan hingga mulai timbul banyak pertanyaan dari anak. Jangan
heran ketika anak mulai banyak menguji pada fase ini dikarenakan mereka mulai
mempertanyakan segala sesuatu yang tidak mereka pahami. Namun, hal ini tidak
menjadikan korteks telah bersambungan secara sempurna dan matang, korteks baru
akan bersambungan secara matang rata-rata pada usia 25 tahun dan anak yang
memiliki riwayat pengasuhan yang baik akan matang lebih cepat di kisaran umur
20 tahun.
Ada dua aspek perasaan yang harus diperhatikan:
-
Perasaan apa yang mendorong kelakuan atau
perbuatan anak?
- Bagaimana perasaan anak setelah pendisiplinan
terjadi, jangan sampai anak merasa terhina, bodoh dan takut.
Tiga hal agar disiplin merubah tingkah laku:
- Anak menyadari perasaan yang mendorong mereka
melanggar peraturan.
- Mereka harus mampu memikirkan apa yang mereka
lakukan dan yang mungkin terjadi dari perbuatannya, apa akibatnya bagi orang
lain.
- Harus mampu memperhitungkan bagaimana caranya
tidak semata-mata karena dorongan perasaan
-
Jadi gunakan 5 pendekatan DKS untuk mendisiplinkannya
Bila anak bertingkah laku tidak sesuai harapan, lakukan SLP –
B yaitu:
-
S: Stop
-
L: Lihat dan dengar
-
P: Pikirkan apa perasaan yang mendorongnya?
-
B: Bertindak:
1.
Baca bahasa tubuh
2.
Tebak perasaan
3.
Namakan perasaan
Sebagai contoh anak kita yang berkelahi dengan anak tetangga
sampai anak tersebut terluka, maka yang pertama kali dilakukan adalah mengobati
lukanya lalu pulangkan pada orang tuanya dan meminta maaf pada orangtuanya.
Setelah selesai memulangkan, pangku anak kita dan lihat bahasa tubuhnya serta
tanyakan perasaannya. Dari bahasa tubuhnya akan terlihat jika anak mengantuk
atau lapar, setelah itu tebak perasaannya dan namakan, “capek ya?” atau
“ngantuk ya?”. Dengan menerima perasaannya, maka anak akan bercerita sendiri
mengenai apa yang dirasakan sehingga anak belajar untuk mengatur emosinya.
Setelah anak tenang, barulah kita memberi masukan kepada anak, jangan langsung
memarahi atau bahkan langsung menasihati ketika peristiwa terjadi.
Untuk mendisiplinkan anak, pikirkan perasaannya lalu perlahan
geser ke pola berpikir sehingga anak akan belajar proses berpikir. Sebagai
contoh anak kita yang sudah remaja pulang larut malam dan tiba di rumah pukul
12 malam. Kita sudah pasti khawatir dan ingin rasanya untuk menghubungi seluruh
teman-temannya karena ponselnya mati. Apakah kita sanggup meredam amarah ketika
anak sampai di rumah? Lakukan langkah-langkah berikut, lihat kondisi anak apakah
anak terlihat lelah atau lapar atau sakit? Jika ingin bertanya mengapa
ponselnya tidak bisa dihubungi dan pulang terlambat, tidak apa-apa tapi tidak
sambil emosi, dengarkan ucapan anak dan pikirkan perasaannya.
Ternyata motornya mogok dan anak mesti mendorong ke bengkel
sambil diperbaiki hingga tengah malam. Baca bahasa tubuhnya karena bahasa tubuh
anak tidak akan pernah berbohong dan tanyakan perasaannnya, “Jadi, kamu capek
mendorong motor ya?” Boleh ditambakan kalimat yang menyatakan perasaan kita
tapi cukup kalimat singkat seperti, “Bunda khawatir kalau kamu pulang tengah
malam tanpa ada kabar, lain kali tolong beri kabar” dan nasihat lain bisa
diberikan lain waktu ketika anak sedang luang.
2.
DKS =
Mengajukan pertanyaan untuk merubah tingkah laku
Ada beberapa faktor mengapa anak sulit mengendalikan tingkah
laku:
-
Anak jarang memperhatikan situasi sekitarnya
bahkan diri sendiri
-
Anak tidak memahami apa yang terjadi
-
Tidak sadar apa yang mungkin mereka lakukan
-
Mengetahui peraturan tapi tidak menyadari dan
menginsyafi yang dikatakan orang
-
Lupa dan tidak perduli
Sebagai contoh, anak berlari di dalam rumah, kemudian mereka
menabrak barang di dalam rumah. Mereka
lupa kalau tidak boleh berlari di dalam rumah dan tidak sadar bahwa jika
berlarian akan membuatnya terluka. Jadi, cara yang sebaiknya dilakukan dengan
bertanya, “Nak, kalau di dalam rumah sebaiknya bagaimana?” “Berjalan” “Kalau
berlari, apa yang terjadi?” “Jatuh” “Kalau jatuh, bagaimana perasaanmu?”. Mengapa
harus bertanya, karena dengan bertanya anak harus menjawab, ketika menjawab anak
akan berfikir, lalu memeriksa diri (look
in) dan ada kesadaran diri.
Contoh cara bereaksi, mana yang benar? Anak meletakkan kaki
ke atas kursi di rumah orang?
1.
Turunkan kakimu!
2. Kamu tahu kan kita dimana? Kita tidak di rumah
sendiri, kan mama sudah bilang jangan taruh kaki di kursi orang!
3.
Maaf dimana kakimu?
Perbedaan memerintah dan bertanya:
Memerintah
|
Bertanya
|
·
Anak tidak memperhatikan tingkah laku
·
Anak tidak berfikir, hanya patuh
·
Tidak membangun kesadaran diri /internal
tentang tingkah laku
·
Selalu perlu dikendalikan
·
Tidak tahu apa yang akan dilakukan lain kali
·
Tanggung jawab pada orang tua
·
Otoritas eksternal
|
§
Anak memperhatikan yang dilakukannya
§
Membuat anak berfikir sebelum berespons
§
Menggugah kesadaran diri
§
Anak mengendalikan dirinya
§
Tahu apa yang akan dilakukan lain kali
§
Tanggung jawab pada anak
§
Otoritas internal
|
Kontrol dalam diri anak (otoritas internal) vs diluar diri (otoritas eksternal)
- Kalau anak hanya memperhatikan orang tua atau
otoritas eksternal, anak akan bermasalah ketika harus mengembangkan kesadaran
internal tentang apa yang harus dilakukan ketika orang tua tidak ada.
-
Otoritas eksternal (kontrol diluar diri) penting
untuk keselamatan hidupnya
- Otoritas internal (kontrol dalam diri) akan
membuat anak sadar diri, menyadari apa yang sedang dilakukan, mengambil
keputusan bagaimana respons tepat atau yang terbaik, tanpa harus diberi tahu
orang tua.
-
Kesadaran diri awal pengembangan otoritas
eksternal/kendali diri
Syarat bertanya yaitu tidak dalam nada menuduh, menyindir,
menunjukkan bahwa anak bodoh dan tidak paham karena hal tersebut membuat anak
membela diri dan tidak mengundang perhatian anak terhadap tingkah laku mereka.
Yang perlu diingat adalah remaja membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari
bahasa tubuhnya.
Praktek bertanya:
-
Pilihlah salah satu masalah anak
-
Rumuskan pertanyaan
-
Tukar dengan teman
-
Ceritakan masalahnya
-
Ajukan petanyaannya
-
Masing-masing menilai
Langkah kesadaran diri (otoritas internal):
-
Buat aturan
-
Sepakati bersama
-
Diterapkan dengan cara bertanya
-
Konsekuensi – evaluasi
Ada contoh menarik yang diceritakan oleh Bu Elly yaitu ada
seorang doktor yang merupakan lulusan dari Harvard University, namun sayangnya
dia mengaku tidak pernah mengambil keputusan dalam hidupnya. Sejak kecil semua
selalu diputuskan oleh orangtuanya bahkan dalam memilih jurusan sekalipun.
Inilah letak perbedaan otoritas internal dan eksternal, dimana seharusnya
disiplin membuat anak “Berfikir, Memilih dan Mengambil keputusan” (BMM) karena
tidak selamanya orang tua akan berada di sisi anak.
Bersambung ke Part IV
Langganan:
Postingan (Atom)